PERKEMBANGAN
PERS DI INDONESIA
Awal
Kemerdekaan (1942-1945)
Pers
di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide bahwa
beberapa surat kabar sunda bersatu untuk meneritkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo
(melayu), dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji).
Dalam
kegiatan penting mengenai kenegaraan dan kebangsaan Indonesia, sejak persiapan
sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sejumlah wartawan pejuang
dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping Soekarno, dan
Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa Kusumasumantri, Ki Hajar
Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik, BM Diah, Sjuti
Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Setelah
Indonesia Merdeka/Orde Lama (1945-1959)
Penyebaran
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Penyebarluasan
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh wartawan-wartawan
Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada
bulan September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui
tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI
(Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas
prakasa Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan
wartawan lainnya, seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro.
Pada saat berdirinya, RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di
Jakarta, Bandung, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat
kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit
pada tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal
Pers nasional sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat
pesat, meskipun mendapat tekanan dari pihak penguasa peralihan Jepang dan
Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan distribusi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan,
sampai akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil.
Pusat-pusatnya ialah di Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan
dimana kantor berita cabang Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di
Padang, Sumatera Selatan di Palembang. Selain itu, di Sumatera muncul surat
kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping surat surat kabar yang
sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama atau berganti
nama.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya, kalangan
pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan
sekitarnya (Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami
oleh kalangan pers. Di daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah
yang pertama kali diduduki oleh tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers
tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya, pertumbuhan
pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI
ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat
pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara
itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers nasional,
karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembaangunan bangsa.
Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi
masa kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan
wadah guna mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud
pada tanggal 8-9 Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) di Solo atau Surakarta.
Setelah
Agresi Militer
Setelah
agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik
bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu
mengalami pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda
bisa secara tiba-tiba langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat
kabat yang bersangkutan, sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan
surat kabar tersebut. Pihak penguasa Belanda mengusahakan penerditan non
republik dibantu oleh kaum separatis Pro Belanda. Usaha tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus politik adu dombanya, yang
dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan masyarakat luas.
Sewaktu
pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut
pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi
cabang yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa
Bafagih. Ini berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke
Pusat Pemerintahan RI yang baru tersebut.
Keadaan
Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember 1948
penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan
penahanan terhadap para pejuangdan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa
itu jumlah wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan
dipenjarakan sebagai tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada
yang keluar kota dan ada juga yang ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan
di desa=desa terpencil. Meski begitu, mereka tetap mengusahakan penerbitan
berupa stensilan.
Usaha
penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti;
kalangan pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari
pihak TNI di daerah-daerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI
sendiri mengusahkan penerbitan dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers
oleh kalangan pers (wartawan) Republik.
Masa
Orde Bru (1959-1998)
Di
masa demokrasi Liberal, tiap orang yang memiiki uang atau modal boleh
menerbitkan surat kabar atau majalah. Tidak diperlukan izin atau pengesahan
dari siapapun. Melalui surat kabar dan majalah ini orang boleh menyampaikan
pendapat dan perasaannya, sehingga banyak Koran dan majalah muncul di masa ini
dan mereka saling berlomba menerbitkan surat kabar dan majalah sekalipun namyak
yang tidak bisa bertahan untuk terus terbit dengan teratur.
Koran-koran
bekas milik RDV (Dinas Penerangan Belanda), setelah pengakuan kedaulatan
dialihkan ke tangan tenaga-tenaga Indonesia, Koran bekas RDV hidup jauh lebih
baik daripada Koran Indonesia yang ditangani langsung oleh orang Indonesia. Hal
ini antara lain disebabkan Koran milik RDV sewaktu dialihkan sudah mempunyai
aparat distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai aparat
distribusi yang lengkap. Selain itu koran RDV mempunyai peralatan cetak yang
jauh lebih lengkap dan canggih dibandingkan dengan percetakan koran bangsa
Indonesia.
Matinya
majalah dan koran bermutu di masa Demokrasi Liberal kemungkinan besar
disebabkan oleh mismanajemen atau salah urus baik dibidang teknik redaksional,
teknis peralatan, keuangan, dan bernagai urusan perusahaan lainnya. Disamping
itu munculnya koran dan majalah yang isinya mengarah ke pornografi membuat
keadaan semakin buruk.
Di
masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau
disingkirkan. Semakin lama peaturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar
larangan berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis.
Khusus mengenai pers ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan
alat-akat penyiaran lainnya dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang
langsung dapat mempengaruhi haluan Negara, dan tidak bersumber pada badan
pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT
adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa
Demokrasi Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960
diwajibkan mengajukan permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan
penyiaran. Pada bagian bawah permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang
mengandung janji penanggung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT
akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan
mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah dan akan dikeluarkan
oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh penguasa sebagai
alat penekan surat kabar.
PWI
sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintahdi masaDemokrasi
Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang bersimpati
pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena melalui
PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat
menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS
singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk untuk
menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah
Sajuti Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos
(Naionalis, Agama, Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan
Sajuti Melik sebagai usaha mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS
ditentang PKI dengan tuduhan BPS hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga
perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu
menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa Demokrasi
Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi
pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari
PKI, karena itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita
Indonesia dan mengganti namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi
Ketahanan Revolusi Indonesia. Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan
surat kabar bernama Angkatan Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.
Beberapa
factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
Disiplin
kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi
dengan patuh pada indtruksi atasan.
Jaminan
Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.
Hubungan
dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas
tiap anggota.
Sebagai
langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar
Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya
ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang
dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal
13-15 Oktober 1966.
Setelah
DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal
12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam
penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan
hak per situ sendiri.
Dalam
usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya,
amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Selama
masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitas i keamanan, politik pemerinta dan
ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi
pembangunan pers Pancasila.
Periode
Perkembangan pers Di Indonesia
Perkembangan
pers di Indonesia dapat dibagi menjadi dua periode dilihat dari perkembangan
sejarah hubungan pers dengan pemerintah.
Jika dibagi secara kasar maka perkembangan pers dapat dibagi menjadi delapan
tahap.
1.
Era Kolonial
Era
kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan
kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat
Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan
bahasa daerah.
Dalam
era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen
yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat
kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel.
Sampai
pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa
Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
2.
Era perjuangan kaum nasionalis
Era
perjuangan Nasionalis berawal dari awal abad dua puluh hingga tahun 1942. Pada
era ini lahir suratkabar yang dibiayai, disunting dan diterbitkan oleh etnis
Indonesia, yakni surat kabar Medan Prijaji.
Karena
mulai tahun 1908 muncul organisasi
kebagsaan Indonesia maka pers Indonesia mulia mengelompokkan diri sesuai
dengan aliran politik dan kecenderungan organisasinya.
Hingga
menjelang berakhirnya masa kekuasaan kolonial, terdapat 33 suratkabar dan
majalah berbahasa Indonesia dengan tiras keseluruhan sekitar 47.000 eksemplar.
Dalam
era ini juga tercatat bahwa 27 surat kabar kaum nasionalis dibreidel pemerintah
pada tahun 1936 karena adanya ordonansi pers untuk membatasi kebangkitan
gerakan nasionalis.
3.
Masa transisi pertama
Era
ini berlangsung dari 1942 hingga 1945, yakni selama penjajahan Jepang. Selam periode ini situasi politik
Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era ini juga pers Indonesia
belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi massa untuk tujuan
tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun
juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Dalam
masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberaoa surat kabar baru
diterbitkan meskipun dikontrol ketata oleh Jepang. Selian itu Jepang juga
mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang
kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di
Indonesia yakni Aneta dan Antara.
4.
Era pers partisan
Era
ini berlangsung dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah
persaingan keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan
sifat dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar
menjadi corong partai politik.
Ada
tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat kabar republikein yang
mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang, surat kabar belanda, dan
surat kabar Cina.
5.
ERA PERS TERPIMPIN
Era
ini berlangsung dari tahun 1957 hingga 1965. Sepanjang periode ini dan
diberlakukannya Undang-Undang Darurat Peranag pers diperintahkan oleh presiden
Soekarno agar setia kepada ideologi nasakom serta pemanfaatan surat kabar untuk
memobilisasi rakyat.
6.
MASA TRANSISI KEDUA
Masa
ini berlangsung pada tahun 1965 hingga
1974. Pada awal pemerintahan Orde baru ini, pers mendapatkan ruang yang cukup
bebas. Meskipun demikian pada tahun 1970, pemerintah mulai campur tangan dalam
pemilihan ketua Persatuan Wartawan Indonesia
7.
ERA BISNIS PERS
Era
ini berlangsung dari tahun 1974 hingga 1988. Pembredelan media massa yang
terjadi setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), mengakibatkan
pers yang tadinya lantang menjadai tiarap. Pers Indonesia semakin bisa
dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebagian surat kabar dilarang
terbit.
Pada
Era ini juga pemerintahan Orde Baru berhasil meningkatakan pertumbuhan ekonlomi
yang berimbas pada semakin terbukanya pasar bagi ssuarat kabar. Hanya saja sebagian besar pers yang dapat
mengembangkan bisnisnya harus berhati-hati dalam mengutarakan pandangan politik
agar tidak bertentangan dengan penguasa.
8.
MASA TRANSISI KETIGA.
Era
ini terjadi pada akhir tahun 1980an
dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi
perubahan ini antara lain adalh kaenyataan bhawa Soeharto akan mencapai usia 70
tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru
hanya soal waktu. Namun tak ada yang berubah dalam kebijakan pers karean
lembaga SIUPP yang mengontrol pers dengan ketat tidak dihapus.
Pers
dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan
pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin
dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat
pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah juga
ikut campur tangan dalam keredaksian.
Dalam
pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara yang digunakan
wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah,
yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik
eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat.
Penggunaan kata-kata ini adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu
pemberitaan.. Fakta dalam sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers
dengan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme
rekaman adalah budaya wartawan untuk mentranskrip setepat-tepatnya apa yang
dikatakan sumber berita dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja
membuat wartwan Indonesia semakin malas.
Jurnalisme
amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita.
Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya
tetap saja terjadi.
Pada
masa orde baru ini juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga
para pejabat. Hal ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir
sama dan sangat berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham.
Pada
awal tahun 1990an pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers
meskipun tetap harus bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh
dari perubahan situasi politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah
yang jumlahnya semkain banyak di Indonesia.
Pada
21 Juni 1994 pemerintah Indoensia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu
Tempo, Ediotr dan Detik. Ada tiga teori tentang pembreidelan tersebut yakni
teori permusuhan Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana
produksi pesawat terbang dasn pembelian bekas kapal perang yang mengkritik
habibie, teori intrik politik yang berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu
bekerjasam dengan Benni Moerani dan pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan
Habibie dan teori Intimiasi yang berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin
memperlambat laju perubahan masayrakat dan media yang semkain bergerak menuju
kebebasan yang lebih lebar. Pembreidelan ini mengakibatkan terjadinya protes
dan demo di kalangan wartawan Indonesia.
Sebagai
penyelesaian kasus pembreidelan ini menteri penerangan mengelurakan dua izin
penrbitan baru untuk menmpung wartawan yang kehilangan pekerjaannya yakni
mingguan Gtra untuk ex-Tempo dan Tiras untuk wartawan eks Editor.
Pasca
pembreidelan inilah yang merupakan titik balik kondisi pers Indonesia karena
wartawan-wartawannya mulai cenderung memberontak pada pemerintah meskipun
dengan cara yang berbeda-beda. Meski demikian SIUPP tetap merupakan ganjalan
terbesar dalam kehidupan pers Indonesia saat itu.
9. MASA ORDE BARU DAN ERA REFORMASI
Pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto
sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap
berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan
Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk
memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai
wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan
konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.
Bagi
Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846,
yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau
sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula,
pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin
terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol
terhadap pers perlu dilakukan.
Sebagai
contoh adanya pembatasan terhadap pers dengan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h. Dengan definisi
”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang
menerbitkan pers dan pembredelan.
Terjadinya
pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di
kembangkan pada rezim orde baru.
Tak
ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat merupakan
salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Sesuai Prinsip Hukum
dan Demokrasi, bahwa perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menegakkan
hukum perlu ada keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat. Untuk itu,
kebebasan pers, hak wartawan dalam menjalankan fungsi mencari dan menyebarkan
informasi harus dipenuhi, dihormati, dan dilindungi. Hal ini sesuai dengan UUD
45 Pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.
Suatu
pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala
bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan
ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini,
pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi
yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara.
Peran
inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan
opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini
mencerminkan keberhasilan tersebut.
Setelah
reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya
media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen.
Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers
Indonesia.
Pers
yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat
yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang
baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi
sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan
sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik
harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut
media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal
ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya
mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Sungguh
ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia
cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi,
kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa
Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan
tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai
instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan
pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat
agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan,
digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal
itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan
hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif,
sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.
Ada
hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi
jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal
ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya,
berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi
ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media
massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap
semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun
menjadi sajian sehari-hari.
Ide
tentang kebebasan pers yang kemudian menjadi sebuah akidah pelaku industri pers
di Indonesia. Ada dua pandangan besar mengenai kebebasan pers ini. Satu sisi,
yaitu berlandaskan pada pandangan naturalistik atau libertarian, dan pandangan
teori tanggung jawab sosial.
Menurut
pandangan libertarian, semenjak lahir manusia memiliki hak-hak alamiah yang
tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, termasuk oleh pemerintahan. Dengan
asumsi seperti ini, teori libertarian menganggap sensor sebagai kejahatan. Hal
ini dilandaskan pada tiga argumen. Pertama, sensor melanggar hak alamiah
manusia untuk berekspresi secara bebas. Kedua, sensor memungkinkan tiran
mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ketiga,
sensor menghalangi upaya pencarian kebenaran. Untuk menemukan kebenaran,
manusia membutuhkan akses terhadap informasi dan gagasan, bukan hanya yang
disodorkan kepadanya.
Kebebasan
pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang
bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara
kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya
untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan
media massa (the power of the press). Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di
atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target
pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam
kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan
pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik
media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan
publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan
sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar