PERKEMBANGAN
SISTEM PERS DI INDONESIA
Pengertian
Pers
Secara
etimologis, kata pers atau press (dalam Bahasa Inggris) artinya menekan atau
mengepres. Isitlah ini merujuk pada alat dari besi atau baja yang di antara dua
lembar besi tersebut diletakkan suatu barang. Kata pers berkaitan dengan upaya
menertibkan sesuatu dengan upaya menertibkan sesuatu melalui cara mencetak.
Proses produksinya adalah dengan cara memakai tekanan (pressing).
Menurut
Lesikow, komunikasi pers memiliki arti sebagai berikut:
a.
Usaha percetakan atau penerbitan
b.
Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
c.
Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi
d.
Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita
e.
Media penyiaran berita yakni surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Terdapat
dua pengertian tentang pers:
a.
Pers dalam arti sempit: adalah media cetak yang mencakup surat kabar, koran,
majalah, tabloid, dan bulletin-buletin pada kantor berita.
b.
Pers dalam arti luas: mencakup semua media komunikasi yaitu media cetak, media
audio, media audiovisual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi,
film, internet, dan sebagainya.
Menurut
UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers adalah lembaga sosial dan wahana
komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik,
maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia. Pengertian inilah yang termasuk
pengertian pers dalam arti luas.
Perkembangan
Pers di Indonesia
Sejarah
perkembangan pers di Indonesia tidak lepas dari sejarah politik Indonesia. Pada
masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi tiga
golongan.
a.
Pers Kolonial
Pers
kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada
masa kolonial. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa
Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonial
Belanda. Di samping itu, pers kolonial juga membantu usaha pemerintah Hindia
Belanda dalam melanggengkan kekuasaannya di tanah air.
b.
Pers Cina
Pers
Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina
meliputi koran-koran, surat, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia, atau Belanda
yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
c.
Pers Nasional
Pers
nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini
bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.
Tirtohadisoerjo
atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak
tahun 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers
nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan dengan modal
nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Adapun
perkembangan pers nasional dimulai sejak masa pergerakan, masa penjajahan
Jepang, masa revolusi fisik, masa demokrasi Liberal, masa demokrasi Terpimpin,
masa orde baru, dan pers di era reformasi sekarang ini.
a.
Pers masa pergerakan
Masa
pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda sampai
saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers masa pergerakan tidak bisa
dipisahkan dari kebangkitan nasional.
Setelah
munculnya pergerakan modern Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar
yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat
perjuangan. Pers saat ini merupakan corong dari organisasi pergerakan
Indonesia.
Karena
sifat dan isi pers pergerakan adalah anti penjajahan, pers mendapatkan tekanan
dari pemerintah Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat
itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk menutup usaha
penerbitan pers pergerakan. Pada masa pergerakan itu berdirilah kantor berita
nasional Antara pada tanggal 13 Desember 1937.
b.
Pers masa penjajahan Jepang
Pada
masa ini, pers nasional mengalami kemunduran besar. Pers nasional yang pernah
hidup di zaman pergerakan, secara sendiri-sendiri dipaksa bergabung untuk
tujuan yang sama, yaitu mendukung kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan
Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang dan bersifat pro Jepang.
Dan
di akhir pemerintahan kolonial Jepang, pers radio punya peran yang sangat
signifikan. Ia turut membantu penyebarluasan Proklamasi dan beberapa saat
sesudahnya dalam Perang Kemerdekaan.
c.
Pers masa Revolusi Fisik
Periode
revolusi fisik terjadi antara tahun 1945 sampai 1949. Masa itu adalah saat
bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan yang berhasil diraihnya
pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali menduduki Indonesia
sehingga terjadilah perang mempertahankan kemerdekaan.
Saat
itu, pers terbagi menjadi dua golongan.
•
Pers NICA, yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara pendudukan Sekutu dan
Belanda. Pers ini berusaha mempengaruhi rakyat Indonesia agar menerima kembali
Belanda untuk bekuasa di Indonesia.
•
Pers Republik, yang diterbitkan dan diusahakan oleh orang Indonesia. Pers
Republik disuarakan oleh kaum republik yang berisi semangat mempertahankan
kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan Sekutu. Pers ini benar-benar menjadi
alat perjuangan masa itu.
d.
Pers masa Demokrasi Liberal
Masa
Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu
Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat
itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers.
Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi
pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan
kelompok partai atau aliran politik.
e.
Pers masa Demokrasi Terpimpin
Masa
Demokrasi Terpimpin adalah masa kepemimpinan Presiden Soekarno (1959-1965).
Masa ini berawal dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1955 untuk mengakhiri
masa Demokrasi Liberal yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Sejak itu mulailah masa Demokrasi Terpimpin dengan mendasarkan kembali pada UUD
1945.
Sejalan
dengan Demokrasi Terpimpin, pers nasional dikatakan menganut konsep otoriter.
Pers nasional saat itu merupakan corong penguasa dan bertugas
mengagung-agungkan pribadi presiden, serta mengindoktrinasikan manipol. Pers
diberi tugas menggerakkan aksi-aksi massa yang revolusioner dengan jalan
memberikan penerangan, membangkitkan jiwa, dan kehendak massa agar mendukung
pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainnya.
Pada
masa ini, mucullah pers televisi. Awal mulanya adalah dari keinginan untuk
menyiarkan Pesta Olah Raga Asia IV atau Asian Games IV. Setelah acara ini
berakhir, TVRI tidak dapat melanjutkan siarannya karena belum tersedianya
studio dan keterlambatan persediaan film. Atas desakan Yayasan “Gelora Bung
Karno” dibangunlah studio darurat sebagai studio operasional yang memungkinkan
TVRI siaran satu jam sehari. Pada kemudian hari, TVRI semakin berkembang dan
hingga akhirnya kini sudah ada banyak stasiun televisi swasta yang juga ikut
melakukan kegiatan pers.
f.
Pers masa Orde Baru
Pers
senantiasa mencerminkan situasi dan kondisi masyarakatnya. Pers nasional pada
masa Orde Baru adalah salah satu unsur penggerak pembangunan. Pemerintah Orde
Baru sangat mengharapkan pers nasional sebagai mitra dalam menggalakkan
pembangunan sebagai jalan memperbaiki taraf hidup rakyat.
Pada
saat itu, pers menjadi alat vital dalam mengkomunikasikan pembangunan. Karena
pembangunan sangat penting bagi orde baru, maka pers yang mengkritik
pembangunan mendapat tekanan. Orde baru yang pada mulanya bersifat terbuka dan
mendukung pers, namun dalam perjalanan berikutnya mulai menekan kebebasan pers.
Pers yang tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah atau berlaku berani
mengkritik pemerintah akan dibredel atau dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP). Kita tentunya masih ingat dengan kasus yang dialami oleh majalah
Tempo. Media tersebut pernah dicabut SIUPPnya akibat pemberitaan yang kritis
terhadap pemerintahan Orde Baru.
g.
Pers masa Reformasi
Sejak
masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasannya. Hal
demikian sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang
diperjuangkan rakyat Indonesia. Pemerintah pada masa reformasi sangat
mempermudah izin penerbitan pers. Akibatnya, pada awal reformasi banyak sekali
penerbitan pers baru bermunculan. Bisa dikatakan pada awal reformasi kemunculan
pers ibarat jamur di musim hujan.
Pada
masa inilah marak bermunculan apa yang disebut jurnalisme online. Kalau
sebelumnya pers di Indonesia masih didominasi oleh media cetak dan media
penyiaran, pada masa ini mulai banyak berdiri sejumlah jurnalisme online.
Jurnalisme ini menggunakan sarana internet sebagai medianya. Jurnalisme ini
mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh jurnalisme media cetak
dan media penyiaran.
Kelebihan
itu adalah setiap individu memiliki peluang untuk memperoleh informasi dari
sumber yang sangat luas. Kedua, jurnalisme online bisa menyiarkan informasi
dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang sangat pendek. Yang ketiga
adalah bisa menggabungkan tulisan, gambar, dan suara dalam satu kemasan
(Abrar,2003:49).
Kelebihan
itu yang dianggap sebagai tantangan besar bagi para pelaku pers, terutama surat
kabar. Namun pada kenyataannya, jurnalisme online yang sekarang sudah ada di
Indonesia belum bisa dikatakan mengancam keberadaan media cetak secara besar.
Sejauh ini, keberadaaan jurnalisme media cetak dan jurnalisme online masih
saling melengkapi. Sebetulnya media surat kabar berada pada posisi yang kuat untuk
membangun masa depan berdasarkan posisi unik mereka di masa lalu yang cukup
kuat dan telah mengakar di masyarakat luas. Kehadiran berbagai media online
diyakini hanya akan meredefinisikan media cetak konvensional (Grafika,
2000:11).
Jurnalisme
online sendiri memliki kekurangan. Ia kurang memiliki kredibilitas, sehingga
apa yang sudah orang lihat di internet belum tentu tepat. Maka orang akan
mencari-cari lagi dari sumber yang kredibilitasnya tinggi, salah satunya lewat
pemberitaan media cetak dan media penyiaran.
Pada
masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
1.
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2.
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum,
dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3.
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
4.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum
5.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
UU
RI No. 40 Tahun 1999, antara lain juga menjamin kebebasan pers serta mengakui
dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan
pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki.
Pasal 2 menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan
rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum”. UU ini juga memberikan kebebasan kepada wartawan untuk memilih
organisasi wartawan sekaligus menjamin keberadaan Dewan Pers.
Era
reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers,
kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP. Sebelum tahun
1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap. Dengan instalasi
kabinet B.J. Habibie, proses tersebut dikurangi menjadi tiga tahap saja.
Terlebih pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Departemen Penerangan yang
menjadi momok bagi dunia pers dengan SIUPPnya dibubarkan. Hal ini membawa
pengaruh sangat besar bagi perkembangan dunia pers di Indonesia.
Dengan
longgarnya proses mendapatkan SIUPP, hampir 1.000 SIUPP baru telah disetujui
bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Angka tersebut tidak termasuk sekitar 250
SIUPP yang telah diterbitkan sebelum reformasi dan setelah tahun 2000. Sebagian
besar penerbitan tersebut merupakan tabloid mingguan yang berorientasi politik.
Penerbitan tersebut dimiliki dan didukung oleh konglomerat media, misalnya
Bangkit (Kompas-Gramedia Group) dan Oposisi (Jawa Pos Group).
Namun,
dunia pers kembali mengalami kekhawatiran di masa kepemimpinan Presiden
Megawati Soekarnoputri dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. UU Penyiaran tersebut dirasakan banyak pasal yang tidak demokratis
sehingga dapat membelenggu dunia pers, terutama pada pers radio dan televisi.
Pers
Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan
identitas. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
•
Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan
•
Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan
sama dengan partai-partai politik yang mendanainya
•
Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan
pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
•
Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi
•
Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J.
Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarnoputri.
Kaitan
Dengan Model Pers
Fred
S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm (1956) membagi sistem
komunikasi pada empat model pers, yaitu Pers Otoritarian, Pers Libertarian,
Pers Soviet Komunis atau Pers Totalitarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial. Di
antara keempat model tersebut, Indonesia pernah menganut Pers Otoritarian, Pers
Libertarian, dan Pers Tanggungjawab Sosial.
1.
Pers Otoritarian
Otoritarian
artinya kekuasaan yang mutlak atau otoriter. Falsafah dari teori pers
otoritarian adalah pers menjadi kekuasaan mutlak dari kerajaan atau pemerintah
yang berkuasa guna mendukung kebijakannya. Teori ini pertama kali muncul dan
dikembangkan di Inggris pada abad XV dan XVII yang kemudian menjalar ke seluruh
dunia.
Pers
menjadi pendukung dan kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang
berkuasa dan melayani negara. Melalui penerapan hak khusus, lisensi, sensor
langsung, dan peraturan yang diterapkan sendiri dalam tubuh serikat pemilik
mesin cetak, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang
berkuasa. Pers bisa dimiliki baik secara publik atau perorangan, akan tetapi
tetap dianggap sebagai alat untuk menyebarkan kebijakan pemerintah
(Severin,2005:374).
Pers
ini pernah dijalani Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin. Masa Demokrasi
Liberal dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan karena
itulah system pemerintahan Indonesia menjadi Demokrasi Terpimpin. Otomatis,
system pers Indonesia ikut berubah. Pers kemudian menjadi corong penguasa dan
bertugas mengagungkan-agungkan presiden. Pers diarahkan untuk membentuk opini
masyarakat yang baik kepada pemerintah agar bisa memuluskan semua kepentingan
pemerintahan.
Sama
halnya dengan pers masa Orde Baru. Pemerintah sangat berharap rakyat mampu
menjadi mitra dalam melaksanakan kebijakan pemerintah, yaitu melaksanakan
pembangunan. Barang siapa berani mengkritik atau memberikan pemberitaan yang
menjatuhkan citra pemerintahan, akan mendapatkan tekanan atau hukuman yang
sangat tegas dan nyata. Misalnya dibredel atau SIUPPnya dicabut.
Contohnya,
siaran berita televisi pada masa Orde Baru ditujukan semata untuk kepentingan
pemerintah, yaitu sebagai alat propaganda bagi kebijakan pemerintah dan sebagai
situs bagi definisi rezim ini tentang kebudayaan nasional Indonesia
(Sen,2001:152). Televisi swasta dikontrol untuk tidak memproduksi siaran
sendiri, akan tetapi merelay siaran berita TVRI dari Jakarta. TVRI sengaja
menayangkan berita tentang pemerintahan pada malam hari untuk mengetahui reaksi
pemerintah tentang berita yang ada pada media cetak pada pagi harinya. Kemudian
mereka dapat menyaring berita yang baik untuk menjaring dukungan rakyat
terhadap pemerintah.
Untuk
saksi mata, berita pada TVRI selalu menghadirkan saksi mata dari pihak
pemerintahan. Tidak ada pemunculan saksi mata dari warga biasa. Jikalau ada,
mereka biasanya hanya dipakai untuk menggambarkan hubungan hirarkis dengan para
pejabat tinggi. Seolah TVRI ingin memberikan kesimpulan bahwa pihak pemerintah
yang paling kredibel untuk semua macam berita. Padahal tidak. Hal ini justru
mengacu kepada pengaburan fakta yang sesungguhnya, serta membatasi masyarakat
untuk berpendapat.
2.
Pers Libertarian
Libertarian
berasal dari kata liberty yang artinya bebas. Pers ini juga berasal dari
Inggris kemudian masuk ke Amerika Serikat dan selanjutnya ke seluruh dunia
terutama pada Negara yang menganut paham kebebasan atau liberal. Pers
libertarian bertolak belakang dengan pers otoritarian. Falsafah teori ini adalah
pers memberi penerangan dan hiburan dengan menghargai sepenuhnya individu
secara bebas. Pers bebas mengeluarkan berita baik yang ditujukan kepada
masyarakat maupun negara. Campur tangan negara terhadap pers dianggap menindas
kebebasan pers. Dalam hal ini negara tidak berhak mengontrol kehidupan pers,
justru menjadi alat kontrol sosial.
Pers
harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah
sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur, dan mencari
keuntungan. Di bawah teori ini pers bersifat swasta, dan siapa pun yang
mempunyai uang yang cukup dapat menerbitkan media (Severin,2005:376).
Model
ini pernah dianut bangsa Indonesia pada pers masa Demokrasi Liberal, di mana
pada masa itu pers sangat menikmati adanya kebebasan pers. Namun pada masa itu
fungsi pers masih terbatas pada bentuk perjuangan kelompok partai atau aliran
politik. Pers belum bisa menjalankan fungsi pers yang sesungguhnya karena
pemerintahan belum benar-benar stabil setelah perjuangan pada masa revolusi
fisik.
3.
Pers Tanggungjawab Sosial
Falsafah
dari teori ini adalah pers memiliki tanggungjawab sosial. Falsafah bahwa pers
perlu mempunyai tanggung jawab sosial. Teori ini mulai dikembangkan di Amerika
Serikat pada abad ke-20. Pers memberikan penerangan, berita, hiburan, dan
produk secara bebas, namun dilarang melanggar kepentingan orang lain dan
masyarakat. Para pekerja pers diharapkan memiliki kesadaran bahwa ada tanggung
jawab yang harus diemban atas kegiatan jurnalistik yang dilakukan secara bebas.
Para wartawan menyadari bahwa ada hak orang lain dan masyarakat yang harus
dihargai. Contohnya masalah pribadi, hak asasi manusia, keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Teori
ini sebenarnya bermula dari teori pers libertarian. Teori libertarian sudah banyak
ditinggalkan oleh negara-negara yang menganut system politik liberal, sebab
teori ini dinilai merugikan publik. Sebagai gantinya, muncullah teori
pertanggungjawaban sosial pers. Inti ajaran teori ini adalah kebebasan dan
tanggung jawab sosial pers harus berjalan seimbang. Dalam kebebasan ini, dengan
sendirinya melekat tanggung jawab. Hal ini berarti bahwa setiap berita atau
tulisan yang dilansir penerbitan pers harus bisa dipertanggungjawabkan baik
secara jurnalistik, etika, maupun hukum.
Posisi
teori ini netral dan berada di tengah-tengah kedua mazhab, yaitu antara teori
otoritarian dan libertarian. Di satu sisi, mereka menerima ideology kebebasan
pers dan di sisi lain juga menerima adanya tanggung jawab sosial atas
berita-berita yang dikemukakan. Pers menjadi alat kontrol masyarakat, tetapi
masyarakat juga dapat mengontrol pers.
Teori
tanggungjawab sosial mengatakan bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang
penting untuk dikemukakan harus diberikan hak dalam forum, dan jika media
dianggap tidak memenuhi kewajibannya, maka ada pihak yang harus memaksanya
(Severin,2005:379). Media pers dikontrol dikontrol oleh pendapat masyarakat,
tindakan konsumen, kode etik profeisonal, dan dikontrol oleh badan pengatur
karena keterbatasan-keterbatasan tertentu.
Model
pers ini dialami Indonesia setelah masa Orde Baru usai, yaitu pada masa
Reformasi. Pers Indonesia bebas menggunakan haknya untuk meliput berita, akan
tetapi ia juga dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan berita yang
disampaikan. Oleh karena itu hendaknya tiap-tiap pekerja jurnalisme memiliki
ketrampilan jurnalisme yang baik dan rasa tanggung jawab yang tinggi.
Akan
tetapi, walau berita di masa Reformasi kini sudah tidak dipengaruhi lagi oleh
rezim penjajah atau rezim pemerintah yang otoriter, isi berita masih bisa juga
dipengaruhi oleh hal-hal lain. Hal itu adalah pengaruh sponsor iklan dan
pengaruh kepemilikan media. Hal ini yang tampaknya sulit dihindari.
Masing-masing media kini harus berebut sponsor iklan agar bisa melangsungkan
jalannya media tersebut. Oleh karena itu, biasanya kaum pengiklan punya ikut
campur dalam urusan isi berita. Hal ini tentunya juga demi keuntungan yang
diinginkan pihak pengiklan tersebut.
Sedangkan
dari sisi kepemilikan media bisa kita lihat dari perisitiwa pencalonan Ketua
Umum Partai Golkar baru-baru ini. Dua kandidat terbesar adalah Aburizal Bakrie
dan Surya Paloh yang kebetulan keduanya memiliki stasiun televisi yang tayangan
utamanya berbasis pada berita. Otomatis, masing-masing stasiun televisi
tersebut digunakan untuk saling bersaing mempropagandakan keunggulan
masing-masing kandidat demi suksesnya tujuan mereka, yaitu terpilih sebagai
Ketua Umum Golkar. Timbullah berita yang sifatnya subyektif dan cenderung
mendukung mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar